AKUNTANSI LINGKUNGAN, KONTRIBUSI AKUNTANSI TERHADAP PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
ENVIRONMENTAL ACCOUNTING, CONTRIBUTION OF ACCOUNTING
FOR ENVIRONMENTAL PROTECTION AND MANAGEMENT
Oleh:
Dr. Dian Imanina
Burhany, SE., MSi., Ak.
Dosen Politeknik
Negeri Ujung Pandang
Abstract
The phenomenon of global warming and increasing of environmental
degradation require the participation of all parties to make environmental
protection and management. In particular,
the Indonesian government as regulator also set this in the form of
legislation, namely Law Number 32 Year 2009 on the Environmental Protection and
Management.
Everyone
should participate in environmental protection and management efforts,
including companies that are often said to be the biggest cause of
environmental degradation. Management of
company have the responsibility for protecting and managing environment so that
the production activities, products and waste of company do not damage the
environment and harm the community.
In performing these duties management require complete
information as support. Environmental accounting plays a very important role here,
that is as a provider of environmental information for management. The
environmental information include physical information indicating the number of
physical inputs (energy, water and materials) are used and outputs (emissions
and waste) are generated, as well as monetary information indicating environmental
costs and other expenditures. Based on that information management can make
decisions related to the environment appropriately. Herein lies the
contribution of environmental accounting for environmental protection and
management.
Keywords: environmental accounting, environmental management accounting,
environmental financial accounting, environmental costs, environmental
protection and management
Pendahuluan
Fenomena
pemanasan global dan kerusakan lingkungan yang semakin meningkat telah
mendorong kesadaran berbagai pihak untuk memikirkan solusinya. Tindakan korektif
maupun preventif harus dilakukan karena bumi ini bukan hanya milik generasi
saat ini tapi juga milik generasi yang akan datang, sehingga harus dijaga agar
dapat diwariskan dalam kondisi yang baik. Secara mikro, lingkungan yang rusak
akan merugikan dan membahayakan masyarakat yang berada di sekitarnya.
Kesadaran akan pentingnya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan mulai menguat ketika pada tahun 1992
dilaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau Earth Summit di
Rio de Janeiro, Brazil. Pada saat itulah konsep mengenai pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development semakin dimatangkan. Inti
dari konsep ini adalah pembangunan yang dilaksanakan dengan tetap menjaga
keseimbangan dan keberlanjutan bumi bagi generasi yang akan datang. Konsep ini terus
berkembang dan mengalami penyempurnaan definisi. Burritt dan Lehman (1995)
mengutip definisi sustainable development yang dibuat oleh World
Commission on Environment and Development (WCED) dalam laporannya Our Common
Future yaitu “development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Selanjutnya,
pada abad ke-21
ini sustainable development didefinisikan
kembali secara lebih tegas sebagai “development that does not destroy or
undermine the ecological, economic or social basis on which continued
development depends” (Herath, 2005). Jadi, terlihat jelas bahwa pembangunan
dikatakan berkelanjutan jika mempertimbangkan aspek ekologi (lingkungan),
ekonomi dan sosial secara seimbang, bukan hanya aspek ekonomi saja yang oleh
sebagian pihak dianggap lebih penting.
Pada dasarnya
semua pihak, baik secara individu maupun kelompok, mempunyai andil dalam
pemanasan global dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu maka upaya untuk
menyelamatkan dan melindungi lingkungan juga seharusnya dilakukan oleh siapapun
tanpa pengecualian. Namun secara khusus, dunia usaha sering dituding sebagai
pihak yang memberikan kontribusi paling besar dalam kerusakan lingkungan. Oleh
karena itu, masyarakat pun menganggap dan menuntut bahwa perusahaan untuk lebih
bertanggung jawab terhadap lingkungan (Shrivastava, 1995).
Anggapan dan tuntutan tersebut tentunya bukan
tanpa dasar dan alasan. Di sekitar kita banyak kasus kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan oleh perusahaan. Sebagai contoh adalah kasus perusahaan
pertambangan PT Newmont Minahasa Raya yang limbah tailingnya melebihi baku mutu yang ditetapkan sehingga
mencemari laut dan sungai di sekitar lokasi pertambangannya dan menyebabkan
gangguan kesehatan serius warga yang mengkonsumsi ikan dari sungai itu (Yunanto, 2007). Demikian juga dengan kasus PT Freeport yang sudah sejak lama menimbulkan kerusakan lingkungan berupa pencemaran
sungai dan laut oleh limbah tailing yang dihasilkannya, rusaknya hutan di
wilayah pengendapan tailing, berubahnya bentang alam karena erosi maupun
sedimentasi, serta meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing (Batubara, 2010). Kemudian ada kasus PT Lapindo Brantas di
Sidoarjo yang semburan lumpurnya telah menenggelamkan kawasan pemukiman, industri dan pertanian
warga. Semburan lumpur itu juga mencemari udara dan air tanah sehingga
menyebabkan gangguan pernafasan dan gangguan kulit pada warga (Nusantara, 2010). Masih banyak lagi kasus-kasus kerusakan
lingkungan lain yang disebabkan oleh perusahaan, baik yang terpublikasi maupun
tidak.
Dewasa ini, kepedulian dunia usaha atau
perusahaan terhadap lingkungan sebenarnya sudah meningkat. Sudah banyak
perusahaan yang melakukan pengelolaan lingkungan agar aktivitasnya tidak sampai
merusak dan mencemari lingkungan, baik karena kesadarannya sendiri maupun
karena adanya tekanan dari stakeholder perusahaan. Fraser (2005)
mengatakan bahwa keterkaitan antara kegiatan bisnis dan kegiatan
lingkungan sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan telah menjadi salah satu isu sentral pada abad ke-21 ini.
Adapun Berry dan Rondinelli (1998) mengatakannya sebagai sebuah revolusi
industri baru (the new industrial revolution). Elkington (1999) mengemukakan konsep triple bottom line yang menyatakan bahwa saat ini
perusahaan tidak cukup hanya mengejar laba atau profit sebagai
satu-satunya bottom line, tetapi juga harus mengakomodir dua
aspek lainnya yaitu planet (bumi, lingkungan) dan people (masyarakat, sosial). Konsep ini dikenal juga dengan
3P (profit,planet, people).
Perusahaan juga semakin menyadari bahwa
kepedulian pada lingkungan pada akhirnya akan memberikan keuntungan finansial
kepada perusahaan sendiri. Hal ini didukung oleh berbagai penelitian. Di
antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Elsayed dan Paton (2005);
Utami (2007); Henri dan Journeault (2010); Moneva dan Ortas (2010); Burhany (2011), yang secara konsisten
menemukan bahwa kinerja lingkungan berhubungan atau berpengaruh positif
terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Hasil penelitian
tersebut juga sejalan dengan Iwata dan Okada (2011) yang menyatakan bahwa jika
kinerja lingkungan terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan,
dengan sendirinya perusahaan memiliki insentif untuk meningkatkan kinerja
lingkungannya agar dapat meningkatkan kinerja keuangan sebagai tujuan akhir.
Ini berarti bahwa bukan hanya pemerintah atau stakeholder lain yang
berkepentingan dengan masalah lingkungan tetapi juga perusahaan sendiri.
Dapat dikatakan bahwa sebagai regulator, pemerintah
bukan hanya memiliki kepentingan tapi memang sudah menjadi kewajibannya untuk
mengatur masalah lingkungan. Di Indonesia, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan telah diatur dalam suatu undang-undang yaitu Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun
dengan adanya keyakinan bahwa kinerja lingkungan yang baik akan berpengaruh
positif terhadap kinerja keuangan perusahaan maka manajemen sebagai pengelola
perusahaan tentunya akan lebih termotivasi untuk melakukan pengelolaan
lingkungan di perusahaannya.
Selain manajemen,
pihak lain yang juga harus menunjukkan kepedulian dan berperan aktif dalam
pengelolaan aspek lingkungan di perusahaan adalah akuntan. Sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas pelaporan aktivitas perusahaan, baik secara internal mauapun
eksternal, akuntan harus mengakomodasi dan mengintegrasikan aspek lingkungan ke
dalam pelaporannya. Secara internal, manajemen membutuhkan informasi lingkungan agar dapat
membantunya dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Adapun secara eksternal,
berbagai stakeholder perusahaan memiliki
kepentingan yang bervariasi namun intinya adalah ingin mengetahui aktivitas
perusahaan dalam penyelamatan lingkungan dan kinerja perusahaan dalam aspek lingkungan (kinerja lingkungan). Dengan demikian berkembanglah suatu
bidang akuntansi yang dinamakan akuntansi lingkungan atau environmental accounting (Medley, 1997; Deegan, 2002).
Selg
(1994) menjelaskan bahwa salah satu cara untuk melakukan perlindungan
lingkungan dalam jangka panjang adalah dengan mengintegrasikan pertimbangan lingkungan
ke dalam sistem akuntansi perusahaan. Selanjutnya Eckel et al. (1992) menyatakan bahwa seiring
dengan peningkatan environmental costs oleh
perusahaan sebagai hasil dari environmental
management (pengelolaan lingkungan), maka dibutuhkan suatu sistem pelaporan
dan pengukuran lingkungan (environmental
reporting and measurement system) untuk menyediakan informasi bagi
pengambilan keputusan dan penilaian kinerja. Jadi dapat dikatakan bahwa akuntansi memainkan peran yang sangat penting
dalam mengelola hubungan antara perusahaan dengan lingkungan (Bebbington et
al.,1994).
Definisi Lingkungan
serta Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
memberikan definisi lingkungan atau dalam undang-undang ini disebut lingkungan
hidup sebagai berikut:
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Adapun perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai:
“Upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.”
Jadi dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan/lingkungan hidup adalah alam
yang berada di sekitar kita. Berbeda dengan lingkungan sosial yang merujuk pada
manusia, lingkungan hidup merujuk pada alam sekitar berupa makhluk tidak hidup
maupun makhluk hidup selain manusia. Sedangkan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan mengacu pada segala upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan oleh siapapun tanpa kecuali.
Definisi Akuntansi
Lingkungan
Definisi akuntansi
lingkungan atau environmental accounting dikemukakan
antara lain oleh Steele dan Powell (2002) sebagai:
“The
identification, allocation and analysis of material streams and their related
money flows by using environmental accounting systems to provide insight in environmental
impacts and associated financial effects.”
Kemudian
definisi oleh Bennett dan James (1999) adalah:
“The generation, analysis and use of
financial and non-financial information in order to optimize corporate,
environmental and economic performance, achieving a sustainable business.”
Sedangkan United Nations Division for Sustainable Development (2001)
menjelaskan:
“Environmental accounting is defined as
simply doing better, more comprehensive management accounting, while wearing an
environmental hat, that opens the eyes for hidden costs.”
Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa akuntansi lingkungan pada dasarnya adalah bidang
akuntansi yang melakukan tugas yang sama dengan bidang akuntansi yang sudah
dikenal dan dipahami selama ini yaitu mengidentifikasi atau mengumpulkan
(menghitung dan mencatat), mengalokasikan, menganalisis dan melaporkan
informasi mengenai aktivitas perusahaan, namun dengan penekanan pada aspek
lingkungan. Definisi United Nations for Sustainable Development (2001)
memperjelas dengan menyatakan bahwa akuntansi lingkungan sebenarnya adalah
akuntansi manajemen yang lebih komprehensif, yang menggunakan sudut pandang
lingkungan untuk mengungkapkan biaya lingkungan yang selama ini tersembunyi. Sedangkan
Steele dan Powell (2002) memberi penekanan bahwa ruang lingkup pencatatan dan
pelaporan akuntansi lingkungan bukan
hanya aliran biaya tapi juga aliran material (bahan) yang terkait dengan
lingkungan.
Pengklasifikasian Akuntansi Lingkungan
Secara
tradisional, akuntansi diklasifikasikan berdasarkan pihak yang menggunakan
informasi akuntansi yang dihasilkan, yang terdiri atas pihak internal dan pihak
eksternal perusahaan. Akuntansi yang menghasilkan informasi untuk pihak
internal dinamakan akuntansi manajemen, sedangkan akuntansi yang menghasilkan
informasi untuk pihak eksternal dinamakan akuntansi manajemen.
Pengklasifikasian
akuntansi lingkungan dilakukan dengan cara yang sama yaitu berdasarkan pihak
yang menggunakan informasi yang dihasilkannya atau dapat juga dikatakan
berdasarkan fungsinya. Menurut Environment Agency Japan (2000), sebagai suatu
sistem akuntansi, fungsi akuntansi lingkungan terdiri atas fungsi internal dan
fungsi eksternal. Secara internal, akuntansi lingkungan merupakan alat bantu
manajemen (management tool) yang
berfungsi menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh manajemen untuk melakukan
pengelolaan lingkungan. Secara eksternal, akuntansi lingkungan merupakan media
komunikasi dengan masyarakat/stakeholders
yang berfungsi menyediakan informasi sebagai bentuk pertanggungjawaban
perusahaan.
Fungsi
internal dan eksternal akuntansi lingkungan ditunjukkan oleh gambar berikut
ini.
Gambar
1
Environmental
Accounting as A Company’s Environmental Accounting System
Sumber: Environment Agency Japan (2000)
Dengan
demikian, dapat ditarik benang merah antara pengklasifikasian akuntansi secara
umum atau tradisional dan pengklasifikasian akuntansi lingkungan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Xiaomei (2004) dan Bosshard (2003) berikut ini:
1. Akuntansi manajemen lingkungan (environmental
management accounting/ EMA); yaitu bagian dari akuntansi lingkungan yang
difokuskan pada pengumpulan
dan penyajian informasi mengenai aliran bahan dan energi serta biayanya secara
terinci untuk keperluan pengambilan keputusan internal oleh manajemen
perusahaan.
2. Akuntansi keuangan lingkungan (environmental
financial accounting/EFA) atau akuntansi lingkungan eksternal (external environmental accounting);
yaitu bagian dari akuntansi lingkungan yang difokuskan pada pelaporan kewajiban
lingkungan, biaya-biaya lingkungan yang signifikan, dan penyediaan informasi
keuangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan untuk kepentingan stakeholders eksternal perusahaan.
Masing-masing
bagian tersebut dapat didefinisikan lagi secara lebih spesifik. Definisi EMA
antara lain dikemukakan oleh United Nations Division for Sustainable
Development
(2001) sebagai berikut:
“Identification,
collection, analysis and use of two types of information for internal decision
making: (1) physical information on the use, flows and destinies of energy,
water and materials (including wastes) and (2) monetary information on
environment-related costs, earnings and savings.”
Sedangkan menurut IFAC (2005), EMA adalah:
“The management of environmental and economic
performance through the development and implementation of appropriate
environment-related accounting systems and practices. While this may include
reporting and auditing in some companies, environmental management accounting
typically involves life-cycle costing, full-cost accounting, benefits
assessment, and strategic planning for environmental management.”
Pada
dasarnya EMA merupakan pengembangan dari akuntansi manajemen tradisional dengan
memberikan tambahan pada aspek lingkungan, yaitu berupa tambahan data dan
informasi fisik mengenai aliran input (energi, air dan bahan) yang digunakan
serta output (emisi dan limbah) yang dihasilkan. Dalam implementasinya, EMA
tidak perlu berdiri sendiri namun dapat diintegrasikan ke dalam sistem
akuntansi manajemen yang sudah ada dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang diperlukan. Sesungguhnya EMA dan akuntansi manajemen dapat berjalan
bersama (IFAC, 2005).
Adapun
EFA lebih ditujukan untuk memastikan bahwa pendapatan, biaya, aktiva dan
kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan sudah terefleksi di dalam laporan
keuangan yang ditetapkan berdasarkan standar akuntansi keuangan (Godschalk, 2008).
Selain itu, EFA juga mendukung pelaporan lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan. Bentuk pelaporan ini antara lain adalah laporan tahunan, laporan
sustainabilitas (sustainability report) atau bentuk laporan lainnya. Informasi
yang dibutuhkan oleh EFA juga termasuk rangkuman dari informasi biaya
lingkungan (informasi moneter) yang merupakan komponen utama dari EMA. Jadi
dapat dikatakan bahwa EMA memainkan peran yang penting dan menentukan dalam
sistem akuntansi lingkungan secara keseluruhan (Xiaomei, 2004).
Dengan
mempertimbangkan data dan informasi fisik dan moneter tersebut, Burritt
(2002) membuat pengklasifikasian akuntansi lingkungan secara lebih spesifik menjadi:
1. Monetary environmental management accounting (MEMA)
Pada bagian ini, biaya lingkungan dicatat pada pos
yang berbeda dari biaya non-lingkungan secara terpisah agar dapat dikendalikan.
Contohnya adalah biaya pengurangan dan pengolahan limbah, biaya pemeliharan
peralatan pengendali polusi, biaya daur ulang bahan sisa, biaya desain
proses/produk yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
2. Physical environmental management accounting (PEMA)
PEMA digunakan untuk menentukan tingkat pemakaian
bahan yang ramah lingkungan dan dampak lingkungan yang dihasilkan sehingga
dapat dikendalikan. Data ini penting untuk menentukan target penghematan
energi, air dan bahan, pengurangan emisi, limbah, dan lain-lain. Contohnya
adalah jumlah energi yang dihemat, jumlah bahan dan/atau air yang didaur ulang,
jumlah limbah dan emisi yang dihasilkan, dan lain-lain.
3. External monetary environmental accounting (EMEA)
EMEA digunakan untuk menghasilkan informasi bagi
pihak eksternal seperti investor, kreditor dan perusahaan asuransi. Contohnya
adalah jumlah dana yang investasikan pada peralatan pengolah limbah atau
pengendali polusi, nilai potensial asuransi bagi peralatan tersebut, dan
sebagainya.
4. External physical environmental accounting (EPEA)
Sebagaimana halnya EMEA, EPEA merupakan alat bantu
untuk menyusun laporan kepada stakeholder
eksternal. Tipe akuntansi ini menjadi semakin penting ketika perusahaan
menghadapi tekanan dari stakeholder
yang lebih mengutamakan kinerja lingkungan dibandingkan kinerja keuangan
seperti kelompok pemerhati lingkungan.
Pengukuran, Pencatatan dan Pelaporan
dalam Akuntansi Lingkungan
Berbagai
penelitian tentang akuntansi lingkungan didasarkan pada pandangan bahwa limbah
dan emisi (output non-produk) yang dihasilkan oleh perusahaan sering
menciptakan eksternalitas atau dampak bagi lingkungan di sekitar perusahaan.
Hal ini sebenarnya mencerminkan inefisiensi operasi perusahaan. Porter dan Van
der Linde (1995) menyatakan bahwa satu-satunya yang boleh dihasilkan oleh
perusahaan adalah barang atau jasa untuk dijual. Bahkan jika limbah yang
dihasilkan dapat dijual sekalipun, itu tetap menunjukkan proses produksi yang
tidak efisien.
Rangkaian aktivitas perusahaan
dimulai dengan pembelian bahan, energi dan air. Pada perusahaan manufaktur,
bahan dikonversi menjadi produk akhir yang nantinya akan dikirim ke pelanggan. Namun
tidak semua bahan tersebut menghasilkan output berupa produk. Sebagian menjadi
limbah yaitu bahan yang dimasukkan ke dalam proses produksi tapi harus dibuang
karena masalah desain produk, operasi yang tidak efisien, kualitas yang rendah,
dan lain-lain. Sedangkan energi dan air yang berfungsi untuk mendukung proses
produksi yaitu energi sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin dan air untuk
mencuci bahan baku, akan menjadi limbah berupa emisi hasil pembakaran dan air
yang kotor dan/atau yang mengandung zat berbahaya. Limbah tersebut akan mencemari
lingkungan sekitar dan dapat merusak kesehatan manusia maupun ekosistem lain
seperti tumbuhan dan hewan. Produk akhir yang telah sampai ke tangan kosumen
pun menghasilkan limbah yaitu berupa
sisa penggunaan produk dan kemasan yang dibuang oleh konsumen yang juga akan merusak
lingkungan (IFAC, 2005).
Aktivitas industri lainnya
seperti industri kehutanan dan pertambangan dapat menyebabkan dampak lingkungan
yang lebih ekstrim. Dampak itu bukan hanya berupa limbah yang dihasilkan, tapi
juga erosi atau kerusakan permukaan tanah dan tumbuh-tumbuhan, pengendapan di
permukaan air, serta gangguan makanan, reproduksi dan migrasi hewan. Dampak
lainnya adalah dampak lanjutan terhadap masyarakat sekitar lokasi perusahaan
yang dapat kehilangan sumber makanan dan air bersih. Penyusutan sumber daya alam
yang tidak dapat/lambat diperbaharui juga merupakan masalah yang serius.
Agar dapat mengelola dan
mengurangi dampak lingkungan dari produk dan proses produksi maka perusahaan
harus memiliki data yang akurat mengenai jumlah dan tujuan dari semua energi,
air dan bahan yang digunakan. Harus diketahui berapa yang digunakan, berapa
yang menjadi produk akhir dan berapa yang menjadi limbah (IFAC, 2005). Pertimbangan
inilah yang mendasari pentingnya pencatatan data dan pelaporan informasi
akuntansi lingkungan dalam satuan fisik dan moneter. Oleh karena itu maka Deegan (2002) menyatakan bahwa elemen penting dari
akuntansi lingkungan adalah pencatatan data, bukan hanya dalam unit moneter
tapi juga dalam unit fisik. Demikian juga dengan Schaltegger dan Hinrichsen
(1996) dalam Bosshard (2003) yang mengemukakan pentingnya mengeksplorasi ukuran
yang lebih akurat dan tepat untuk aliran fisik (seperti energi, bahan, limbah,
dan lain-lain) dan hubungannya dengan biaya.
IFAC
(2005) menjelaskan sebagai berikut:
1. Data dan informasi fisik
Agar dapat menentukan biaya secara tepat, perusahaan
harus mengumpulkan data non-moneter mengenai jumlah bahan, jam kerja karyawan,
dan pemicu biaya lainnya terlebih dahulu. Titik beratnya adalah pada pemicu
biaya yaitu data fisik dan input berupa jumlah energi, air dan bahan serta
jumlah output berupa limbah dan emisi karena: (1) jumlah energi, air dan bahan
yang digunakan serta limbah dan emisi yang dihasilkan, berhubungan langsung
dengan banyak dampak perusahaan terhadap lingkungan, dan (2) biaya pembelian bahan merupakan komponen
biaya yang cukup besar.
2. Data dan informasi moneter
Data moneter adalah biaya dan pengeluaran lingkungan
lainnya. Perusahaan mendefinisikan biaya lingkungan dengan cara yang berbeda,
tergantung pada kegunaan informasi biaya lingkungan tersebut, sudut pandang
perusahaan tentang apa itu lingkungan,
tujuan lingkungan dan ekonomi, serta hal lainnya. Pengklasifikasian biaya
lingkungan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan informasi oleh manajemen,
pelaporan keuangan dan pelaporan kepada stakeholder.
Biaya lingkungan juga dapat dikaitkan dengan nilai moneter yang melekat pada
energi, air dan bahan, atau pada pengeluaran untuk pengelolaan lingkungan.
Proses
pengukuran dimulai dengan melakukan penelusuran semua input dan output secara fisik untuk meyakinkan bahwa tidak ada jumlah signifikan
input (energi, air atau bahan lain) serta output (limbah dan emisi) yang tidak
dihitung. Illustrasi aliran input dan output dalam suatu perusahaan yang harus
menjadi perhatian akuntansi lingkungan disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 2
Aliran Input-Output Perusahaan
Sumber:
IFAC (2005)
Hasil
penelusuran tersebut akan menghasilkan data lengkap mengenai input dan output.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan contoh data input dan output suatu
perusahaan.
Tabel
1
Daftar
Input dan Output Perusahaan
INPUT
|
OUTPUT
|
Raw materials
|
Product
|
Auxiliary materials
|
Main Product
|
Packaging
|
By Products
|
Operating materials
|
Waste
|
Merchandise
|
Municipal waste
|
Energy
|
Recycled waste
|
Gas
|
Hazardous waste
|
Coal
|
Waste Water
|
Fuel Oil
|
Amount
|
Other Fuels
|
Heavy metals
|
District Heat
|
COD
|
Renewables (Biomass, Wood)
|
BOD
|
Solar, Wind, Water
|
Air-Emissions
|
Externally produced electricity
|
CO2
|
Internally produced electricity
|
CO
|
Water
|
Nox
|
Municipal ater
|
SO2
|
Ground water
|
Dust
|
Spring water
|
FCKWs, NH4, VOCs
|
Rain/surface water
|
Ozone depleting substances
|
Sumber: UN
(2001)
Sedangkan
contoh ukuran yang digunakan untuk beberapa jenis input dan output disajikan
pada tabel berikut.
Tabel
2
Ukuran
Input dan Output dalam Satuan Fisik
Denominatos
|
Absolute
Quantity
|
Production
output (PO)
|
Kg, litre
|
Raw material
input
|
Kg
|
Auxiliary material
|
Kg
|
Packaging
|
Kg
|
Operating
material
|
Kg
|
Energy
|
KWh
|
Water
|
m3/litre
|
Waste
|
Kg
|
Waste water
|
m3/litre
|
Specific
pollution loads
|
Kg
|
Air
emissions
|
m3
|
Air
emissions load
|
Kg
|
Other denominators
|
|
Number of
employees
|
Number
|
Sales
|
Money value
|
EBIT
|
Money value
|
Production
hours
|
Time
|
Workdays
|
Days
|
Building
area
|
m2
|
Sumber: Bosshard (2003)
Secara moneter, perusahaan harus
menghitung semua biaya lingkungan. Ada
beberapa definisi yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan biaya lingkungan
atau environmental cost dan bisa
menjadi acuan untuk digunakan oleh perusahaan.
Environment
Agency Japan (2000) mendefinisikan biaya lingkungan sebagai: "investment amount and expense amount for
environmental conservation". Hansen dan Mowen (2007:780) mendefinisikannya
sebagai “costs that incurred because poor
environmental quality exist or because poor environmental quality may exist.”
United Nations Division for Sustainable Development (2001) menjelaskan bahwa:
“Environmental
costs comprise both internal and external costs and relate to all costs
occurred in relation to environmental damage and protection. Environmental
protection costs include costs for prevention, disposal, planning, control,
shifting actions and damage repair that can occur at companies and affect
governments or people“.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa biaya lingkungan adalah biaya untuk meminimalkan dampak
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas bisnis perusahaan dan biaya-biaya
yang berhubungan dengan itu, baik yang terjadi di dalam maupun di luar
perusahaan. Atau dapat juga dikatakan bahwa biaya lingkungan meliputi semua
biaya yang timbul akibat penggunaan input (energi, air, bahan) dan pembuangan
output non-produk (limbah dan emisi) ditambah dengan biaya-biaya lainnya yang
berkaitan dengan upaya menjaga lingkungan.
IFAC
(2005) membuat contoh pengelompokan biaya lingkungan sebagai berikut:
Tabel
3
Pengelompokan
Biaya Lingkungan
Kelompok
|
Biaya
Lingkungan
|
Keterangan
|
Kelompok
1
|
Biaya
Bahan dari Output Produk
|
Meliputi
biaya pembelian bahan yang akan dikonversi menjadi produk akhir, produk
sampingan dan kemasan. Data biaya ini dapat membantu perusahaan untuk
mengelola secara lebih efektif biaya lingkungan yang berhubungan dengan
bahan. Sebagai contoh, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengganti
bahan kemasan atau bahan baku dengan bahan yang ramah lingkungan (environmentally friendly).
|
Kelompok
2
|
Biaya
Bahan dari Output Non-Produk
|
Meliputi
biaya pembelian bahan yang dikonversi menjadi limbah dan emisi yang terdiri
atas bahan bakar, air dan energi. Tidak semua limbah dan emisi dapat
dikurangi, namun semakin sedikit bahan, energi dan air yang digunakan,
semakin baik bagi lingkungan.
|
Kelompok
3
|
Biaya
Pengendalian Limbah dan Emisi
|
Seperti:
biaya penanganan, perlakuan dan pembuangan limbah dan emisi; biaya perbaikan
dan ganti rugi karena kerusakan lingkungan; dan semua biaya yang berkaitan
dengan kepatuhan atas regulasi lingkungan yang berkaitan dengan pengendalian
limbah dan emisi.
|
Kelompok
4
|
Biaya
Pencegahan dan Biaya Pengelolaan Lingkungan Lainnya
|
Meliputi
biaya untuk aktivitas pengelolaan lingkungan yang bersifat mencegah yaitu:
biaya pengelolaan supply-chain
lingkungan, biaya produksi yang lebih bersih; biaya untuk aktivitas
pengelolaan lingkungan lainnya seperti biaya perencanaan dan sistem (environmental management system);
biaya pengukuran lingkungan (contoh: pengawasan dan audit lingkungan); biaya
komunikasi lingkungan (contoh: pertemuan dengan masyarakat, lobbi dengan
pemerintah, pelaporan lingkungan); dan biaya lainnya (contoh: dukungan
finansial untuk proyek lingkungan bagi masyarakat).
|
Kelompok
5
|
Biaya
Riset dan Pengembangan
|
Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah biaya aktivitas riset dan pengembangan
yang berkaitan dengan isu dan inisiatif lingkungan seperti: biaya riset
potensi racun/zat berbahaya pada bahan baku; biaya pengembangan produk yang
hemat energi atau ramah lingkungan; biaya uji coba desain peralatan baru yang
dapat menghemat penggunaan bahan baku.
|
Kelompok
6
|
Biaya
Tak Berwujud
|
Meliputi
biaya internal dan eksternal yang tak berwujud (sulit dikuantifikasi) yang
biasanya tidak ditemukan dalam sistem informasi perusahaan namun nilainya
berpotensi signifikan. Yang termasuk biaya ini adalah: kewajiban (liability) seperti biaya pertimbangan
hukum atas kerusakan alam; biaya regulasi seperti biaya masa yang akan datang
akibat efek gas rumah kaca; biaya produktivitas seperti ketidakhadiran
pekerja akibat sakit yang disebabkan oleh polusi; biaya pembentukan image dan hubungan dengan stakeholder seperti hambatan
mendapatkan pembiayaan untuk komponen yang tidak ramah lingkungan; dan biaya
eksternalitas yaitu pengaruh eksternal terhadap masyarakat seperti penurunan
nilai properti (tanah dan bangunan) karena dekat dengan pabrik.
|
Sumber: IFAC (2005)
Pendekatan
lain untuk mengelompokkan biaya lingkungan dilakukan oleh Hansen dan Mowen
(2007:780) yang mengembangkan environmental
quality cost model yang diadopsi dari quality
cost model dalam konsep total quality
management. Dengan pendekatan ini manajemen akan memandang bahwa kondisi yang
ideal adalah nol (tidak ada) kerusakan lingkungan atau zero damage to the environment yang analog dengan zero-defects dalam total quality management. Kerusakan yang dimaksud dalam konteks ini
adalah penurunan kualitas lingkungan secara langsung berupa pencemaran limbah
padat, cair atau gas ke lingkungan, maupun penurunan kualitas lingkungan secara
tidak langsung berupa penggunaan bahan dan energi yang tidak perlu. Dengan
demikian maka biaya lingkungan yang dikeluarkan oleh perusahaan ditujukan untuk
mencapai zero damage to the environment.
Berdasarkan
pendekatan tersebut maka pengelompokan biaya
lingkungan menurut Hansen dan Mowen (2007:780) adalah sebagai berikut:
1. Biaya pencegahan lingkungan (environmental
prevention cost)
Yaitu biaya yang timbul dari aktivitas untuk
mencegah kotoran dan limbah produksi merusak lingkungan. Contoh: biaya
mendesain proses/produk yang dapat meminimalkan atau menghilangkan polusi,
biaya studi dampak lingkungan, dan sebagainya.
2. Biaya deteksi lingkungan (environmental
detection cost)
Yaitu biaya
yang timbul dari aktivitas untuk menjadikan produk, proses, dan aktivitas lain
dalam perusahaan memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan. Contoh: biaya
audit aktivitas lingkungan, biaya melakukan uji polusi, dan sebagainya.
3. Biaya kegagalan internal lingkungan (environmental
internal failure cost)
Yaitu biaya yang timbul dari aktivitas yang
dilakukan karena kotoran dan limbah telah dihasilkan namun belum dibuang ke
lingkungan sekitar perusahaan. Contoh: biaya pengolahan dan pembuangan limbah
berbahaya, biaya daur ulang sisa bahan, dan sebagainya.
4. Biaya kegagalan eksternal lingkungan (environmental
external failure cost)
Yaitu biaya yang timbul sesudah kotoran dan limbah
dibuang ke lingkungan sekitar perusahaan. Biaya ini terbagi lagi menjadi dua
yaitu:
a.
Biaya kegagalan eksternal yang terealisasi (realized external failure cost); yaitu
biaya yang ditanggung dan dibayar oleh perusahaan. Contoh: biaya konservasi
lahan yang rusak, biaya pembersihan lingkungan yang tercemar, dan sebagainya.
b.
Biaya kegagalan eksternal yang tidak terealisasi (unrealized external failure cost); yaitu
biaya yang ditanggung dan dibayar oleh pihak lain di luar perusahaan dan tidak
termasuk dalam kelompok biaya lingkungan yang harus diakui dan dibebankan ke
perusahaan walaupun timbulnya biaya tersebut disebabkan oleh perusahaan,
biasanya secara tidak langsung. Biaya ini disebut juga biaya sosial (societal cost). Contoh: biaya pengobatan
warga yang sakit karena terpapar polusi akibat aktivitas perusahaan, biaya
kehilangan lingkungan yang sehat, dan sebagainya.
Setelah
melakukan pengukuran atau perhitungan atas input (energi, air, bahan) yang
digunakan dan output (limbah dan emisi) yang dihasilkan dengan ukuran yang
sesuai, perusahaan harus melakukan pencatatan agar dapat dijadikan dasar dalam
alokasi, analisis dan penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh manajemen.
Pencatatan dalam akun untuk biaya lingkungan (unit moneter) dilakukan
sebagaimana halnya yang dilakukan dalam akuntansi tradisional yaitu sebesar
pengorbanan yang dilakukan. Adapun pencatatan untuk unit fisik menggunakan
ukuran satuan yang disesuaikan dengan bahan atau dampak yang ditimbulkannya.
Jika dalam
akuntansi tradisional pencatatan dilakukan melalui buku besar (general ledger) maka dalam akuntansi
lingkungan, buku besar juga digunakan namun dengan modifikasi seperlunya untuk
memisahkan dan merinci (breakdown)
akun biaya lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyelipkan bagan
akun (chart of account) ke dalam
bagan yang sudah ada atau dengan membuat bagan yang baru (Envirowise, 2003a
dalam Bosshard, 2003). Berikut ini adalah contoh bagan akun untuk unit fisik.
Tabel
4
Contoh
Bagan Akun untuk Unit Fisik
Group
10 Material Inputs
|
Group
20 Materials Output
|
100
|
Mineral Resources
|
200
|
Products
|
|
101
|
Biomass
|
201
|
Recyclables
|
|
102
|
Water
|
203
|
Emissions
|
|
103
|
….
|
|
2050
|
Landfill
|
|
104
|
Fossil Energy Carriers
|
|
2051
|
Water Emissions
|
|
1040
1041
1042
|
Crude Oil
Coal
Gas
|
|
|
20510
20511
20512
|
TOC
Sulphur
Water
|
105
|
Regenerative Energy Carriers
|
|
|
20513
|
….
|
106
|
Materials
|
|
2052
|
Air Emissions
|
|
1060
|
….
|
|
|
20520
|
CO2
|
|
1061
|
….
|
|
|
20521
|
NOx
|
107
|
Recyclables
|
|
|
20522
|
VOC
|
|
1070
|
….
|
|
|
20523
|
….
|
|
1071
|
….
|
|
2053
|
…
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sumber: Bosshard (2003)
Catatan
yang telah dibuat oleh akuntansi lingkungan khususnya akuntansi manajemen
lingkungan atau environmental management
accounting (EMA) akan menjadi dasar dalam menyajikan informasi atau
melakukan pelaporan kepada manajemen. IFAC (2005) menegaskan bahwa sebagaimana
halnya akuntansi manajemen tradisional, informasi atau laporan yang dihasilkan
oleh EMA tidak diatur oleh suatu standar tertentu namun disesuaikan dengan
kebutuhan manajemen. Oleh karena itulah maka tidak ada format laporan
lingkungan internal yang sama bagi semua perusahaan karena setiap perusahaan
memiliki kebijakan pengelolaan lingkungan yang berbeda dan unik. Namun intinya
adalah bahwa semua informasi fisik dan moneter dilaporkan kepada manajemen agar
manajemen memiliki dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan lingkungan.
Sementara
itu, untuk pelaporan eksternal dalam laporan keuangan, perusahaan harus tetap
merujuk kepada standar pelaporan keuangan yang berlaku. Sedangkan untuk
pelaporan yang sifatnya tambahan seperti dalam sustainability report atau laporan lingkungan, perusahaan dapat
menyajikan informasi berdasarkan kebutuhan stakeholder
eksternal.
Kontribusi Akuntansi Lingkungan terhadap
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Telah diuraikan
sebelumnya bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan/ lingkungan hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Jika dikaitkan
dengan perusahaan sebagai pihak yang aktif melakukan aktivitas yang berpotensi
mencemari dan/atau merusak lingkungan maka upaya tersebut merupakan tanggung
jawab manajemen. Untuk itu manajemen harus melakukan pengelolaan lingkungan.
Adams (2002) dalam Bosshard (2003)
menyatakan bahwa akuntansi lingkungan tidak dapat dilepaskan dari manajemen
lingkungan. Perusahaan dengan sistem manajemen lingkungan formal membutuhkan
aplikasi akuntansi lingkungan karena merupakan pendukung keputusan yang logis
dari sistem itu. Akuntansi lingkungan dapat menjadi komponen penting bagi
manajemen lingkungan, manajemen kualitas dan manajemen biaya perusahaan secara
keseluruhan. EPA (1995) menjelaskan bahwa:
“A successful
environmental management system should have a method for accounting for full
environmental costs and should integrate private environmental costs into
capital budgeting, cost allocation, process/ product design and other
forward-looking decisions ... Most corporate information and decision systems
do not currently support such proactive and prospective decision making.”
Sebagaimana
dijelaskan oleh EPA (1995) di atas, sistem informasi yang dimiliki perusahaan
(secara tradisional) tidak dapat mendukung tindakan dan pengambilan keputusan
untuk melakukan pengelolaan atau manajemen lingkungan. Demikian juga dengan
sistem informasi akuntansinya. Secara tradisional, pengklasifikasian biaya yang
dilakukan dalam akuntansi manajemen yang juga menjadi dasar bagi penyusunan
laporan keuangan dalam akuntansi keuangan pada umumnya terdiri atas biaya
produksi, biaya pemasaran dan biaya adiministrasi umum. Biaya produksi yang
merupakan komponen biaya terbesar terdiri atas biaya bahan langsung, biaya
tenaga kerja langsung dan biaya overhead yang
menampung biaya tidak langsung yaitu semua biaya selain biaya bahan langsung
dan biaya tenaga kerja langsung (Hansen dan Mowen, 2007:42). Biaya yang terkait
dengan lingkungan biasanya dimasukkan ke dalam biaya overhead karena merupakan
biaya tidak langsung.
Pengklasifikasian
seperti ini memiliki keterbatasan karena tidak dapat menghasilkan informasi
yang terinci mengenai aktivitas lingkungan di perusahaan. Dengan menggabungkan
semua biaya tidak langsung termasuk biaya lingkungan ke dalam biaya overhead,
manajer kesulitan mendapatkan informasi yang akurat, berpotensi melakukan salah
interpretasi terhadap informasi yang ada atau bahkan kehilangan informasi
penting yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan
aspek lingkungan (IFAC, 2005). Akibatnya, manajer dapat mengalami kegagalan
atau tidak dapat memaksimalkan pengelolaan lingkungan. Generalisasi
biaya lingkungan ke dalam biaya overhead juga membuatnya tersembunyi dan
manajer kesulitan untuk menelusurinya ke proses atau produk yang terkait,
sehingga manajer cenderung memandang
enteng biaya itu (Dascalu et al., 2010).
IFAC (2005) menjelaskan bahwa secara
tradisional biaya overhead biasanya dialokasikan ke pusat biaya (cost center) berdasarkan volume
produksi, jam mesin, jam kerja, dan lain-lain. Ini menyebabkan tidak akuratnya
alokasi biaya overhead termasuk biaya lingkungan di dalamnya. Sebagai contoh,
biaya pengolahan dan pembuangan limbah beracun yang mungkin lebih besar pada lini
produk yang menggunakan bahan beracun dan lebih rendah pada lini produk yang
tidak menggunakan bahan beracun. Jika misalnya alokasi biaya dilakukan
berdasarkan jumlah produksi maka hasil alokasinya tidak akurat, sehingga
penentuan harga jual, pengendalian biaya lingkungan dan keputusan lain yang
didasarkan atas informasi tersebut dengan sendirinya juga tidak akurat.
Timbulnya
kebutuhan terhadap akuntansi lingkungan dalam mendukung perlindungan dan
pengelolaan lingkungan juga dipicu oleh beberapa keterbatasan lainnya dari
akuntansi tradisional yaitu (IFAC, 2005):
§ Informasi
jumlah, aliran dan biaya bahan seringkali tidak dapat ditelusuri secara
memadai, padahal informasi itu dibutuhkan untuk mengendalikan jumlah dan biaya
bahan yang ramah lingkungan serta limbah dan emisi yang dihasilkan dari
penggunaannya.
§ Sejumlah informasi biaya yang berhubungan dengan lingkungan atau biaya
lingkungan tidak dapat ditemukan di dalam catatan akuntansi karena akuntansi tradisional tidak
mengklasifikasikan biaya dalam hubungannya dengan lingkungan.
§ Keputusan investasi sering dibuat berdasarkan informasi yang tidak
mempertimbangkan aspek lingkungan, akibatnya perusahaan cenderung melakukan
kesalahan dengan menginvestasikan dananya pada peralatan produksi yang tidak hemat
energi dan/atau menghasilkan limbah dan emisi yang tinggi.
Graff et al. (1998) menjelaskan bahwa
pada intinya akuntansi lingkungan dikembangkan untuk membantu pengambilan
keputusan internal manajemen yang berkaitan dengan lingkungan. Untuk itu,
akuntansi lingkungan dapat diaplikasikan pada semua level organisasi dan
membantu pengambilan berbagai keputusan bisnis oleh manajemen. Selanjutnya Graff et al. (1998) menyatakan
bahwa setidaknya ada tiga keputusan penting yang dapat didukung oleh akuntansi lingkungan
khususnya akuntansi manajemen lingkungan yaitu penetapan biaya produk/proses (product/process costing), keputusan
investasi modal (capital investments)
dan keputusan perencanaan strategis (strategic
planning).
§ Keputusan product/process costing sangat
penting karena produk yang berbeda dihasilkan dari proses yang berbeda dan
memiliki komponen biaya lingkungan yang berbeda pula. Sebagai contoh, dua
produk A dan B melalui dua proses yang berbeda namun dengan fasilitas/mesin dan
pekerja yang sama. Produk A membutuhkan bahan kimia tertentu yang beracun
sedangkan produk B tidak atau menggunakan dalam jumlah yang lebih sedikit. Jika
biaya-biaya yang meliputi biaya pemakaian bahan; biaya desain proses untuk
meminimalkan dampak bahan terhadap pekerja; biaya pengangkutan; biaya
pengawasan, pelaporan dan izin dari regulator; biaya pelatihan karyawan dalam
penanganan dan respon terhadap dampak bahan;
serta biaya penyimpanan dan pembuangan bahan digabungkan sebagai biaya
overhead seperti yang dilakukan oleh akuntansi tradisional, maka alokasi biaya
berdasarkan jam mesin atau jam kerja atau bahkan volume produksi akan tidak
adil bagi produk B. Dengan mengeluarkan biaya-biaya tersebut dari biaya
overhead, alokasi biaya dapat dilakukan secara lebih akurat dan pengendalian
biaya tersebut juga lebih mudah dilakukan.
§ Keputusan capital investments
juga merupakan hal yang penting karena aktivitas pengelolaan lingkungan
membutuhkan asset-asset untuk mencegah polusi, mengolah limbah, atau
menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Sebelum melakukan investasi
tersebut, manajer membutuhkan informasi mengenai biaya-biaya lingkungan yang
terkait dengan asset termasuk informasi perbandingan antara biaya yang
dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari asset tersebut.
§ Pentingnya keputusan strategic
planning didorong oleh semakin pedulinya pelanggan saat ini terhadap aspek lingkungan.
Banyak perusahaan menghasilkan produk yang ramah lingkungan dan walaupun
harganya lebih mahal namun pelanggan yang peduli lingkungan (green consumers) mau membayarnya. Untuk
memperkuat pasar, perusahaan harus memenuhi ekspektasi pelanggan dan stakeholder lain yang menuntut tanggung
jawab perusahaan terhadap lingkungan seperti itu. Akuntansi lingkungan dapat
menyediakan informasi lingkungan kepada manajer untuk digunakan dalam
perencanaan strategis ini.
Walaupun
terlihat bahwa arah dari ketiga keputusan tersebut ditujukan bagi kepentingan
perusahaan, namun dengan sendirinya hal tersebut juga mendukung perlindungan
dan pengelolaan lingkungan. Jadi dapat dikatakan bahwa penggunaan atau
implementasi akuntansi lingkungan memberi kontribusi terhadap perlindungan dan
pengelolaan lingkungan dan sekaligus juga memberi kontribusi terhadap
perusahaan sendiri.
Sementara itu,
Guide to Corporate Environmental Cost Management (German Federal Ministry for
Environment, 2003) mengelompokkan kegunaan dan manfaat
akuntansi lingkungan menjadi tiga bagian yaitu compliance, eco-efficiency
dan strategic position.
§ Pada bagian compliance atau
kepatuhan, akuntansi lingkungan bermanfaat untuk mendukung perlindungan
lingkungan melalui kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan pembuatan
kebijakan lingkungan secara internal. Ini antara lain dapat dilakukan dengan
cara merencanakan dan mengimplementasikan investasi yang dapat mengendalikan
polusi, mengganti bahan beracun, dan melaporkan limbah dan emisi yang
dihasilkan kepada regulator. Terlihat bahwa akuntansi lingkungan di sini
memberi kontribusi secara langsung terhadap perlindungan dan pengelolaan
lingkungan.
§ Selanjutnya, pada bagian eco-efficiency,
manfaat yang diberikan adalah berupa dukungan secara simultan terhadap
pengurangan biaya dan dampak lingkungan melalui penggunaan energi, air dan
bahan yang lebih efisien dalam operasi dan produk perusahaan. Wujudnya antara
lain adalah dengan melakukan penelusuran aliran energi, air, bahan dan limbah
secara akurat, merencanakan dan mengimplementasikan energi, air dan bahan yang
efisien, serta menetapkan jumlah pengembalian investasi tahunan (annual return on investment) dari aktivitas eco-efficiency. Walaupun manfaat ini diarahkan pada efisiensi
perusahaan namun pada saat yang sama upaya tersebut juga memberikan kontribusi
terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan.
§ Terakhir, pada bagian strategic
position, manfaatnya adalah berupa dukungan dalam evaluasi dan implementasi
program-program yang ramah lingkungan dan efektif dalam hal biaya untuk
menjamin posisi strategis perusahaan dalam jangka panjang. Ini dapat dilakukan
antara lain dengan cara bekerja sama dengan pemasok untuk mendesain produk dan
jasa bagi green market, menaksir
biaya internal dari regulasi yang mungkin muncul di masa yang akan datang,
serta membuat pelaporan kepada stakeholder
seperti pelanggan, investor dan masyarakat lokal. Secara keseluruhan bagian
ini menggambarkan kegunaan dan manfaat akuntansi lingkungan baik secara
internal terhadap perusahaan maupun secara eksternal terhadap pelanggan,
investor, masyarakat dan yang paling penting adalah terhadap lingkungan.
Kontribusi
yang diberikan akuntansi lingkungan terhadap perusahaan di satu sisi dan
terhadap lingkungan di sisi lain juga dijelaskan oleh Environment Agency Japan
(2000) yang menyatakan bahwa akuntansi lingkungan merupakan suatu kerangka
kerja untuk mengevaluasi secara kuantitatif upaya konservasi lingkungan dan
merupakan suatu metode analisis manajemen yang didesain untuk meningkatkan
efisiensi di satu sisi dan menjaga lingkungan di sisi lain. Dengan demikian
maka kontribusi akuntansi lingkungan terhadap perlindungan dan pengelolaan
lingkungan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dan menjadi harapan
maupun tuntutan masyarakat dan stakeholder
perusahaan sudah sangat jelas. Akuntansi lingkungan berkontribusi sebagai
penyedia informasi lingkungan yang lengkap bagi manajemen sehingga manajemen
dapat memaksimalkan upaya-upaya untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan.
Kesimpulan
Akuntansi lingkungan pada
dasarnya adalah bidang akuntansi yang melakukan tugas yang sama dengan bidang
akuntansi yang sudah dikenal dan dipahami selama ini yaitu mengidentifikasi
atau mengumpulkan (menghitung dan mencatat), mengalokasikan, menganalisis dan
melaporkan informasi mengenai aktivitas perusahaan, namun dengan penekanan pada
aspek lingkungan.
Akuntansi
lingkungan dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua yaitu akuntansi manajemen lingkungan (environmental management accounting/
EMA) dan akuntansi keuangan lingkungan (environmental
financial accounting/EFA) atau akuntansi lingkungan eksternal (external environmental accounting). EMA
adalah bagian dari akuntansi lingkungan yang difokuskan pada pengumpulan
dan penyajian informasi mengenai aliran bahan dan energi serta biayanya secara
terinci untuk keperluan pengambilan keputusan internal oleh manajemen perusahaan,
sedangkan EFA adalah bagian dari
akuntansi lingkungan yang difokuskan pada pelaporan kewajiban lingkungan,
biaya-biaya lingkungan yang signifikan, dan penyediaan informasi keuangan
lainnya yang berkaitan dengan lingkungan untuk kepentingan stakeholders eksternal perusahaan. Secara lebih spesifik akuntansi
lingkungan diklasifikasikan menjadi monetary
environmental management accounting (MEMA), physical
environmental management accounting (PEMA), external monetary environmental accounting (EMEA), dan external physical environmental accounting
(EPEA).
Pengukuran, pencatatan dan
pelaporan dalam akuntansi lingkungan dilakukan bukan hanya terhadap unit
moneter tapi juga terhadap unit fisik. Yang dimaksud dengan unit fisik adalah
jumlah fisik input (energi, air dan bahan) yang digunakan dan output (emisi dan
limbah) yang dihasilkan. Sedangkan yang dimaksud dengan unit moneter adalah
biaya dan pengeluaran yang berhubungan dengan lingkungan.
Kontribusi akuntansi lingkungan
terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan diberikan melalui fungsinya
sebagai penyedia informasi lingkungan bagi manajemen sebagai dasar pengambilan
keputusan. Kontribusi ini dapat memenuhi amanat undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di satu sisi,
sekaligus dapat mendatangkan manfaat ekonomis bagi perusahaan sendiri di sisi
lain.
Daftar
Rujukan
Bebbington,
K.J., Gray, R.H., Thomson, I. and Walters, D. 1994. “Accountants attitudes and
environmentally sensitive accounting”. Accounting
and Business Research, No. 94, Spring, pp. 51-75.
Bennett, M
and James, P. 1999. Sustainable measures:
evaluation and reporting of environmental and social performance. Greenleaf
Publishing.
Berry,
Michael A. and Rondinelli, Dennis A. 1998. “Proactive Corporate Environmental
Management: A New Industrial Revolution”. Academy
of Management Executive 12 (2): 38-50.
Bosshard, R.E. 2003. Environmental
Accounting: A Case Study of its Application to a Small Business in Atlantic
Canada. Theses, Dalhousie University Halifax, Nova Scotia.
Burhany, Dian Imanina. 2011. “Pengaruh Implementasi
Akuntansi Lingkungan terhadap Kinerja Lingkungan dan Pengungkapan Informasi
Lingkungan serta Dampaknya Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan”. Indonesian
Journal of Economics and Business Volume 1, No. 2.
Burritt, R.L. and Lehman, G. 1995. “The body shop wind
farm—an analysis of accountability and ethics”. British Accounting Review 27: 167–186.
Burritt,
R.L. 2002. “Stopping Australia Killing the Environment: Getting the Reporting
Edge”. Australian CPA 73 (3): 70-72.
Dascalu,
C., Caraiani, C., Lungu, C.I., Colceag, F. and Guse, G.R. 2010. “The
externalities in social environmental accounting”. International Journal of Accounting and Information Management 18
(1): 19-30.
De Beer, P. and Friend, F. 2006. “Environmental accounting:
A management tool for enhaching corporate environmental and economic
performance”. Ecological Economics
58: 548-560.
Deegan, C.
2002. “The legitimising effect of social and environmental disclosures - a
theoretical foundation”. Accounting,
Auditing & Accountability Journal 15 (3): 282–311.
Eckel, L.,
Fisher, K. and Russel, G. 1992. “Environmental performance measurement”. CMA Magazine 66 (2): 16-23.
Elkington,
J. 1999. “Triple bottom-line reporting”. Australian CPA March: 18-21.
Elsayed,
K. and Paton, D. 2005. “The impact of environmental performance on firm
performance: static and dynamic panel data evidence”. Structural Change and Economic Dynamics 16: 395–412.
Environment
Agency Japan. 2000. Developing an
Environmental Accounting System. Study Group for Developing a System for
Environmental Accounting Environment Agency Japan.
EPA
(Environmental Protection Agency). 1995. An Introduction to Environmental
Accounting as a Business Management Tool: Key Concepts and Terms, Office of
Pollution Prevention and Toxics, EPA 742-R-95-001, June.
Fraser,
B.W. 2005. “Corporate Social Responsibility”. The Internal Auditor 62 (1): 42–47.
German
Federal Ministry for Environment/Federal Environment Agency. Guide to
Corporate Environmental Cost Management. Berlin, 2003.
Godschalk,
Seakle K.B. 2008. “Does Corporate Environmental Accounting Make Business
Sense?”. Eco-efficiency in Industry and
Science 24: 249-265.
Graff, Robert G., Reiskin, Edward
D., White, Allen L., and Bidwell, Katherine. 1998. Snapshots of Environmental Cost Accounting. A Report to: US EPA
Environmental Accounting Project. Tellus Institute, Boston.
Hansen, D.R. and Mowen, M.M. 2007. Managerial Accounting. 8th Edition. South-Western:
Thomson.
Henri,
Jean-François and Journeault, Marc. 2010. “Eco-control: The influence of
management control systems on environmental and economic performance”. Accounting, Organizations and Society
35: 63–80.
Herath, G. 2005. “Sustainable development and environmental
accounting: the challenge to the economics and accounting profession”. International Journal of Social Economics
32 (12): 1035-1050.
IFAC (International Federation of
Accountants). 2005. International Guidance Document: Environmental Management Accounting.
Iwata, Hiroki and
Okada, Keisuke. 2011. “How does environmental performance affect financial
performance? Evidence from Japanese manufacturing firms”. Ecological Economics 70: 1691-1700.
Medley, Patrick. 1997. “Environmental accounting – what does it mean
to professional accountants?”. Accounting,
Auditing & Accountability Journal 10 (4): 594-600.
Moneva, Jose M. and Ortas, Eduardo. 2010. “Corporate
environmental and financial performance: a multivariate approach”. Industrial Management & Data Systems
110 (2): 193-210.
Nusantara, Bambang Catur. 2010. Empat Tahun Bersama Racun Lapindo. Kompas 1 Juni 2010.
Porter, M and Van der Linde C. 1995. ”Towards a new
conception of the environment-competitiveness relationship”. Journal of Economic Perspectives 9 (4):
97-118.
Selg, R.A. 1994. “New initiatives to stimulate
pollution-prevention investments”. Cost Engineering,
Oktober: 21-3
Shrivastava, P. 1995. “The role of corporations in achieving
ecological sustainability”. Academy of
Management Review 20(4): 936–960.
Steele, A.P. and Powell, J.R. 2002. Environmental Accounting: Applications for Local Authorities to
Quantify Internal and External Costs of Alternative Waste Management Strategies.
Environmental Management Accounting Network Europe, Fifth Annual Conference,
Gloucestershire Business School.
United Nations Division for Sustainable Development. 2001. Environmental Management Accounting
Procedures and Principles. United Nations, New York.
Utami, Wiwik. 2007. Kajian
Empiris Hubungan Kinerja Lingkungan, Kinerja Keuangan dan Kinerja Pasar: Model
Persamaan Struktural. Makalah pada The 1st Accounting
Conference Faculty of Economics Universitas
Indonesia, Depok.
Xiaomei, Li. 2004. “Theory and
practice of environmental management accounting experience of implementation in
China”. International Journal of
Technology Management and Sustainable Development 3 (1): 47-57.
Dokumen:
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.